Ditulis oleh: Ditulis pada: Monday, October 29, 2018
INDONESIA adalah sebuah negara yang dibangun di atas kemajemukan. Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, kemajemukan ini termanifestasi pada Kongres Pemuda, di era kependudukan Belanda, pada awal abad ke-20. Kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda ini menjadi bukti bahwa pendiri bangsa ini paham tentang makna perbedaan dan kemajemukan. Selain itu, Sumpah Pemuda dimaknai sebagai aset bagi pembentukan kelahiran sebuah republik yang lepas dari belenggu yang selama ini dialami oleh bangsa Indonesia pada saat itu. Pemaknaan tentang kemajemukan dimaknai lebih mendalam sebagai bentuk solidaritas mengenai perasaansenasib-sepenanggungan danmenguatnyarasa untukbangkit berjuang bagi perubahan melintasi berbagai sekat perbedaan yang melekat erat.Perbedaan dan kemajemukan pula yang menjadi agenda utama sebagai dasar pemikiran bersama para pendiri bangsa, kemudian dituangkan dalam Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Dinamika proses dan tarik-ulur dalam menetapkan dasar dan falsafah bangsa ini pun tidak lepas dari pro dan kontra terhadap perbedaan, terutama perbedaan ideologi. Sejarah mencatat bahwa demi menjaga integrasi bangsa yang baru saja diproklamasikan, ada perubahan yang cukup signifikan dan dibutuhkan kedewasaan serta kebesaran hati para pendiri negara untuk menerima perubahan hilangnya klausa “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja” atas nama toleransi dan tali kebangsaan (ukhuwah watoniyah).
Baca juga:
Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah Edisi 2
Namun, seiring dengan perjalanan bangsa yang penuh dengan dinamika, toleransi pun mengalami pasang surut. Berbagai konflik yang bermuara dari perbedaan pun kerap terjadi dan menjadi ujian bagi eksistensi Pancasila, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai penghargaan terhadap tole- ransi. Memasuki milenium baru - ditandai dengan kemajuan teknologi digital yang merevolusi pemikiran manusia, perilaku dan karakter hampir semua penduduk di belahan dunia ini pun mengalami perubahan. Derasnya terjangan arus informasi melalui dunia virtual berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku dan karakter bangsa Indonesia, terutama generasi milenial.
Sejumlah lembaga melakukan kajian mengenai perubahan paradigma dan perilaku yang dihasilkan oleh revolusi digital ini. Hasilnya cukup beragam. Catatan penting dari kajian itu adalah pro dan kontra akibat perubahan memang tak terelakkan. Di samping itu, informasi dan interaksi manusia dalam dunia virtual mempengaruhi pola pikir dan perilaku individu di dunia nyata secara sangat signifikan. Yang paling mencengangkan
dan memprihatinkan adalah terbentuknya polarisasi dan angka intoleransi pun mengalami eskalasi. Sebuah pertanyaan pun mengemuka; bagaimana nasib bangsa ini jika fenomena intoleransi yang berpotensi mengandung konflik kekerasan antara anak bangsa terus naik? Jika kecenderungan
intoleransi ini tidak mendapatkan perhatian dan penanganan serius, bukan hanya konflik kekerasan antar sesama anak bangsa yang akan terjadi, melainkan juga disintegrasi bangsa.
Sejarah pembentukan dan perjalanan negeri ini dalam menumbuhkembangkan dan menguatkan toleransi pada masa kemerdekaan Indonesia dimulai melalui sektor pendidikan. Namun, dengan maraknya isu perbedaan sebagai komoditas yang ‘laris’ dijadikan alat untuk memecah-belah saat ini, kita pun bertanya-tanya; apa yang salah dengan pendidikan kita, sehingga isu perbedaan selalu saja muncul dan menjadi ancaman yang terus merongrong eksistensi bangsa ini? Bukankah bangsa ini mengetahui dan memahami bahwa politik pecah-belah atau divide et impera yang digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda-lah yang menjadi kunci mengapa penjajahan di Nusantara ini begitu lama terjadi.
Sumber: Bunga Rampai GLS (Praktik Baik Pembelajaran dan Penumbuhan Budaya Literasi).
Ditulis oleh: Farinia Fianto dan diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tanggal cetak 01 Oktober 2018.